ejarah Ebeg
Ebeg
adalah tarian yang menggambarkan latihan perang prajurit Mataram ketika
melawan Belanda. Latihan perang yang dilakukan prajurit Kasunanan
setiap Sabtu itu kemudian dimodifikasi oleh seniman untuk mengobarkan
semangat perlawan rakyat. Tarian yang demikian agresif dan gagah itu
dipentaskan untuk membumbungkan optimisme rakyat supaya tetap semangat
melawan penjajah. Stigma kuno yang dilekatkan pada tari ebeg dapat
diidentifikasi karena tiga hal. Pertama, sejak dicipta pada masa
kekuasaan Mataram dan diwariskan hingga saat ini tari ebeg tidak
mengalami perubahan yang bermakna. Kedua, nuansa magis yang dibangun
dengan menghadirkan roh saat wuru’ mengesankan lekatnya animisme yang
dianut masyarakat Jawa kuno. Ketiga, semangat memerangi penjajah sudah
tidak relevan dengan semangat juang saat ini. Ebeg adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah (Purbalingga,Banyumas,cilacap,kebumen).
Pada daerah lain kesenian ini dikenal dengan nama kuda lumping atau
jaran kepang, ada juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog
(Jawa Timur). Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang
dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi
kerincingan.
2. Atribut dan Perlengkapan Ebeg
Atribut
yang dikenakan Penarinya berupa celana panjang dilapisi kain batik
sebatas lutut dan berkacamata hitam(sebagian ada yang tidak berkaca
mata), mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua
pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga
gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi
kerincingan.
Gambar 1 Penari Ebeg dan Atribut yang Digunakan
Jumlah
penari ebeg 8 oarang atau lebih, dua orang berperan sebagai
penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang
lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16
orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan
penthul-tembem memakai topeng.
3. Peralatan Pengiring
Peralatan
untuk Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron,
kenong, gong dan terompet. Selain peralatan Gendhing dan tari, ada juga
ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan berupa : bunga-bungaan, pisang
raja dan pisang mas, kelapa muda,jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi
tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti
ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung,( crebonan), dan lain-lain.
4. Pagelaran Tarian Ebeg
Tarian
ebeg termasuk jenis tari massal, tarian ini memakan waktu kurang lebih
4-5 jam, pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas
seperti lapangan atau pelataran/halaman rumah yang cukup luas.
gbr.2
Gambar 2 Adegan Pemain yang Mengalami”wuru” Kesurupan
Keunikan
tarian ebeg disaat pagelaran adalah saat para pemain mengalami trans
(kerasukan/mendem) para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling)
atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari
tangkainya, dhedek (katul), bara api, dll. sehingga menunjukkan
kekuatannya Satria, demikian pula pemain yang manaiki kuda kepang
menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya.
Biasanya
dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan
cepet. Dalam pertunjukannya, ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim
disebut bendhe.
5. Perkembangan Tari Ebeg
Kesenian
ebeg adalah kesenian yang sangat terkenal di daerah Banyumas dan Jawa
Tengah pada umumnya, kesenian ebeg atau kuda lumping atau jathilan ini
memang sebuah kebudayaan yang perlu dirawat dan dijaga kelestariannya.
Beberapa tahun belakangan ini ebeg sudah sangat jarang ditampilkan di
acara-acara seperti hajatan di kampung2. Keberadaannya seperti tertelan
jaman.
Tapi
beberapa waktu belakangan ini, kesenian yang terkenal dengan atraksi
pemanggilan arwah atau lebih dikenal dengan nama ‘indang’ ini kembali
marak.
gbr.3
Gambar 3 Penonton yang Mengalami”wuru” Kesurupan
kemunculannya
kembali seni ebeg ini memberikan sebuah fenomena baru, terlihat seni
ebeg sudah sedikit kehilangan gregetnya karena sekarang banyak dan
sering terjadi para penonton yang ‘wuru’ atau kesurupan indang.
Bahkan
banyaknya penonton yang ‘wuru’ membuat atraksi kesenian ini menjadi
tidak menghibur lagi, karna kebanyakan dari mereka yang ‘wuru’ adalah
penonton yang kebanyakan berusia remaja berkisar belasan tahun.
Kebanyakan
dari mereka memang memiliki indang atau dengan kata lain mereka dapat
dirasuki oleh arwah,yang membuat mereka mudah sekali ‘wuru’ dan
kerasukan indang.
Kalau
dulu ‘indang’ hanya dimiliki oleh mereka para pemain ebeg yang memang
sebelumnya melakukan ritual dan rialat atau bertapa untuk dapat memiliki
indang. Tapi sekarang fenomena yang terjadi adalah maraknya para remaja
belasan tahun yang memiliki indang,dan biasanya mereka memang bukan
pemain ebeg resmi. Namun hanya sebatas indang2 ringan seperti indang
Baladewaan,yaitu indang yang membuat orang yang dirasuki menjadi luwes
menari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar